Berat badan berlebih memang kerap membuat kita kurang percaya diri. Belum lagi risiko penyakit yang mengintai. Karena itulah berbagai upaya dilakukan untuk menurunkan bobot tubuh.
Logikanya, kalori yang masuk tubuh hanya sedikit ditambah dengan pembakaran kalori lewat olah raga yang intensif tentu membuat tubuh mengalami defisit kalori. Dampaknya, berat badan jadi berkurang. Diet ketat akan mengurangi jumlah kalori yang dibakar tubuh.
Menurut Dr. Michael Triangto, SpKO, tindakan ekstrim seperti itu memang membantu menurunkan berat badan. “Seperti yang terjadi pada para kontestan acara reality show penurunan berat badan di televisi itu,” katanya.
Namun cara ekstrim menurunkan berat badan itu sifatnya tidak tahan lama. “Ibaratnya seperti karyawan yang harus kerja lembur habis-habisan namun gajinya dipotong perusahaan. Pasti karyawan itu tidak mau dong. Kita pasti bertempur habis-habisan untuk dapat tambahan uang dari kerja lembur itu,” tuturnya.
Berat badan bisa turun banyak sekali dengan cara ekstrim adalah tidak wajar. Peserta kontestan itu bisa menurunkan berat badan sangat banyak karena ada motivasi besar berupa hadiah uang yang sangat besar. Cara yang tak wajar itu tak bisa dilakukan terus menerus. “Kalau dalam jangka pendek semasa perusahaan sedang sepi order, karyawan pasti mau dipotong gajinya. Tetapi tentu tidak mau dipotong gajinya seumur hidup,” kata Dr. Michael.
Demikian pula cara ekstrim ini tidak bisa dilakukan seumur hidup untuk tetap langsing. Dalam jangka pendek, berat badan memang bisa dipangkas banyak. Namun dikhawatirkan oleh Dr. Michael bahwa berat badan itu bakal naik kembali seperti semula karena tubuh tidak bisa terus menerus dipaksa untuk menderita defisit kalori.
Dokter yang punya klinik terapi olah raga di mal Taman Anggrek ini pernah membuat riset mini tentang orang yang olah raga mati-matian dan diet ekstra ketat. Ia meriset orang-orang yang latihan tujuh hari seminggu, kadang dua kali sehari dan mengurangi makan banyak.
Tindakan menyiksa diri ini ternyata tidak efektif. Dr. Michael mendapati hasil latihan yang tidak bagus. “Badannya tidak kencang. Otot tidak terbentuk karena tidak makan,” katanya.
Agar efektif menurunkan berat badan, tubuh ternyata tidak perlu disiksa seperti itu. Latihan awal untuk menurunkan berat badan hanya perlu latihan intensitas rendah. “Karena tubuh juga masih berat,” begitu alasannya. Pola makan pun tak perlu diubah ekstrim. Melainkan hanya mengurangi porsinya sebanyak seperempat saja. “Jadi tidak terlalu lapar,” katanya. Kadang diperlukan bantuan obat-obatan di tahap ini.
Ada penjelasan ilmiah kenapa kita tak perlu diet ketat dan olah raga terlalu keras untuk berhasil menurunkan berat badan. Makanan yang kita asup menaikkan kadar insulin tubuh dan cadangan lemak. Akibatnya, leptin, salah satu hormon dari lemak juga naik. Leptin inilah yang bertugas menekan keinginan makan. “Leptin akan mekan nafsu maka. Cadangan lemak yang naik juga menaikkan polisistokinin yang memberi tahu pusat kenyang bahwa kita tidak lapar,” terang Dr. Michael.
Sebaliknya, diet yang sengaja melaparkan tubuh justru tidak bermanfaat untuk pelangsingan. Perut yang kosong ini akan merangsang produksi grehlin. “Akibatnya tubuh jadi lapar. Lambung teregang minta diisi,” imbuhnya.
Olah raga untuk orang yang ekstra besar harus dirancang secara hati-hati. Olah raga membuat mereka mengalami benturan empat hingga lima kali berat badannya. Pembakaran lemak besar-besaran akan menimbulkan masalah batu empedu. Tulang terancam keropos karena berat badan yang turun terlalu banyak. Masalah lain akan berdatangan seperti kulit kering, otot hilang, rambut rontok. Bukan tak mungkin banyak muncul gelambir.
Proses ini memerlukan waktu yang lama karena penurunan berat badan yang aman hanyalah
tiga kilogram per bulan. Penurunan yang lambat ini seringkali membuat orang jadi frustasi dan akhirnya berhenti. “Sebenarnya bisa saja jika ingin menurunkan berat badan secara cepat seperti yang ada di acara televisi. Namun itu memerlukan pemeriksaan yang cermat dan butuh tes laboratorium. Akibatnya, harganya jadi lebih mahal,” cetus Dr. Michael.
Sumber : health.kompas.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar